# # Bukan Laman Resmi # # Jalan Letjend Sutoyo 78 Pare Kediri # Misa Mingguan Pagi : 06.30 WIB # Misa Mingguan Sore : 18.00 WIB # Misa Harian Pagi (Senin, Selasa, Kamis, Sabtu ) : 05.30 WIB # Misa Harian Sore (Rabu, Jumat ): 18.00 WIB # Misa Bahasa Jawa : Minggu ke V Tiap Bulan pukul 18.00 WIB #

Minggu, 06 Juli 2014

          Tahun 1890 diperkirakan benih iman Katolik mulai tumbuh di wilayah utara Gunung Kelud ini. Saat itu, beberapa umat Katolik keturunan Belanda tinggal di sekitar Pare seperti Sidodadi, Kencong, Tegowangi, Bendo dan sebagainya. Mereka dilayani Pastor Cornelis Stiphout SJ dari stasi Madiun yang wilayah kerjanya meliputi Karesidenan Madiun dan Karesidenan Kediri (Pare, Nganjuk, Tulungagung, Blitar).
         Umat di Pare hanya mendapat pelayanan misa setiap tiga bulan. Bisa dimaklumi karena wilayah stasi yang luas, perjalanan membutuhkan waktu dan transportasi yang sulit. Meskipun demikian, umat dengan senang hati berkumpul merayakan Ekaristi di kantor KSM (Kantor Kereta Api). Jumlah mereka sekitar 40 jiwa.
          Seiring waktu, jumlah umat Katolik bertambah banyak. Tidak terbatas pada keturunan Belanda, tetapi juga merambah pada orang Jawa dan Tionghoa. Hal ini berlangsung sampai tahun 1931. Masih ada beberapa imam Yesuit yang melayani umat Pare setelah Stiphout, yaitu BG Schweitz SJ, Mulder SJ, Timmers SJ dan Soldal SJ. Imam Yesuit kemudian digantikan imam Lazaris (CM). Mereka membaptis beberapa pribumi Pare seperti Wiryo, Margo Sutrisno, Kusnadi, dan Darsono.
      Pengenalan iman Katolik juga melalui jalur pendidikan. Para misionaris mendirikan sekolah HCS, sekolah Belanda untuk anak Tionghoa tahun 1931. Selain sebagai tempat belajar, sekolah itu juga untuk tempat ibadat dan tempat menginap para pastor.

     Kaum perempuan juga tidak ketinggalan untuk merasul. Melalui kursus-kursus keterampilan keluarga seperti menjahit, mereka belajar agama Katolik dari Ibu Koesnadi dari Templek Gadungan dan Letje Bauwens. Kursus tersebut dinamakan Melania. Tidak sia-sia pengajaran agama Katolik waktu itu. Seorang remaja Jombang terpanggil menjadi biarawati, Sr Leta OSU (kini sudah almarhum).
      Pada periode ini, terdapat Katolik pribumi yang dibaptis tahun 1930. Mereka terdiri dari satu keluarga (bapak, ibu dan dua anak bayi) bersama enam orang lain. Keluarga inilah, keluarga Mateus Soerat, dianggap sebagai katekis yang memajukan iman umat Pare.
     Tahun 1942 Belanda menyerah pada Jepang. Dampaknya, para pastor Belanda ditawan dan sekolah milik Belanda ditutup, termasuk HCS dan Melania. Selama para pastor Belanda ditawan, umat dilayani pastor pribumi yang ditahbiskan di Belanda, Ignatius Josef Soedjono Dwijosoesastro CM. Ia dibantu para imam diosesan yakni A. Dibyo Karyono Pr, dan A. Hadi Sudarso Pr. Para pastor ini melayani Paroki Santo Vincentius Kediri, di mana Pare merupakan salah satu stasinya.
       Sekolah Katolik kembali dirintis. Pastor GAV Rijnsoever CM yang menjadi pastor kepala Paroki Kediri tahun 1953, mendirikan SDK dan SMPK di tanah yang dipakai untuk perusahaan susu. SDK dan SMPK di Jalan Kandangan (Letjen Sutoyo) 78 ini dulu dikenal sebagai sekolah kandang sapi. Setelah Pastor GAV Rijnsoever CM, beberapa pastor penggantinya berasal dari imam Lazaris dan diosesan. Umat belum bertambah, sedangkan Pare masih menjadi stasi dari Paroki Kediri.    
      Tahun 1966, setelah peristiwa G30S, banyak orang di desa-desa mulai tertarik mengunjungi gereja lagi, termasuk di tempat-tempat yang merupakan cikal bakal stasi-stasi Paroki Pare. Karena jumlah umat semakin banyak, para pastor meminta bantuan beberapa guru dan frater CM untuk mengajar umat.
      Di era inilah nama Mateus Soerat kembali terdengar. Katekis ini adalah pensiunan guru SD Negeri yang mewartakan ajaran Kristus dengan talenta yang dimilikinya, yaitu kesenian wayang. Dengan sepeda onthel, ia mengajarkan doa Bapa Kami dan Salam Maria (dalam bahasa Jawa). Tahun 1968 ia mendapatkan bantuan tenaga katekis yang mendapat pendidikan akademis dari Madiun, Heribertus Sadijo BA. Dengan bertambahnya tenaga pengajar untuk umat, para tokoh umat dan imam kemudian sepakat untuk mengubah status Stasi Pare menjadi paroki. Akhirnya, Stasi Pare disahkan menjadi paroki tanggal 19 September 1970 oleh Pastor A. Dibyo Karyono Pr, Vikaris Jendral Keuskupan Surabaya saat itu. Nama pelindungnya diambil dari nama baptis Mateus Soerat yang meninggal dunia tahun 1979 karena kecelakaan di dekat Parerejo setelah mewartakan Injil di Stasi Wates. Mengacu pada hari peringatan Santo Mateus, maka setiap 21 September diperingati sebagai hari ulang tahun paroki. Stasi Pare sebelumnya memiliki nama pelindung St Yakobus yang sekarang digunakan untuk nama stasi di Sekaran, Kayen Kidul, Kabupaten Kediri.

Sumber : Majalah Hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar