Hari Minggu Biasa XVII
5 Oktober 2014
Pertanyaan ini sama seperti anak yang bermain di lumpur, kemudian dinersihkan dan dimandikan, namun kemudian anak tersebut bermain lumpur lagi. Untuk menjawab pertanyaaan ini ada beberapa prinsip yang harus kita pegang :
Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa setelah dibersihkan, maka seorang anak boleh bermain lumpur lagi, namun justru melarang anak tersebut bermain lumpur. Dengan kata lain, setelah diberikan pengampunan dalam Sakramen Tobat, maka yang mengakukan dosa harus dengan kebulatan hati dan dibantu dengan rahmat Tuhan yang memperbaiki kehidupannya dan tidak akan berbuat dosa lagi, seperti yang termuat dalam doa tobat.
Namun anak itu akan bermain lumpur lagi setelah dibersihkan oleh inunya. Bukankah ini percuma ? Argumen ini tidak mendasar. Hal ini sama seperti pernyataan " percuma makan, karena nanti juga lapar lagi". Tentu orang tidak akan pernah memberikan pernyataan tersebut, karena tahu bahwa itu pernyataan yang salah. Masalahnya adalah bukan pada Sakramen Tobat, namun pada manusia yang penuh dengan kelemahan. Masalah ya bukan pada ibunya yang telah membersihkan anak itu, namun pada anak itu, walaupun sudah diperingatkan untuk tidak bermain lumpur lagi. Selama manusia masih mempunyai kehendak bebas, maka manusia masih bisa memilih untuk berkata tidak terhadap dosa, atau mengikuti kelemahan untuk berbuat dosa.
Kalau begitu, sampai berapa kali si pendosa musti diampuni di dalam Sakramen Tobat ? Gereja Katolik menjalankan perintah yesus yang dikatakan-Nya pada waktu Yesus menjawab pertanyaan rasul Petrus yang bertanya, sampai berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang berdosa kepadanya. Dan Yesus menjawab " Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh tujuh kali" ( Mat 18:22). Dengan kata lain adalah tak terbatas. Memenuhi pesan Yesu inilah, Yesus memberikan pengampunan yang dipercayakan kepada Gereja dalam Sakramen Tobat yang dapat kita hampiri setiap saat.
Sumber : Buku Katekese Liturgi 2014
5 Oktober 2014
Pertanyaan ini sama seperti anak yang bermain di lumpur, kemudian dinersihkan dan dimandikan, namun kemudian anak tersebut bermain lumpur lagi. Untuk menjawab pertanyaaan ini ada beberapa prinsip yang harus kita pegang :
Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa setelah dibersihkan, maka seorang anak boleh bermain lumpur lagi, namun justru melarang anak tersebut bermain lumpur. Dengan kata lain, setelah diberikan pengampunan dalam Sakramen Tobat, maka yang mengakukan dosa harus dengan kebulatan hati dan dibantu dengan rahmat Tuhan yang memperbaiki kehidupannya dan tidak akan berbuat dosa lagi, seperti yang termuat dalam doa tobat.
Namun anak itu akan bermain lumpur lagi setelah dibersihkan oleh inunya. Bukankah ini percuma ? Argumen ini tidak mendasar. Hal ini sama seperti pernyataan " percuma makan, karena nanti juga lapar lagi". Tentu orang tidak akan pernah memberikan pernyataan tersebut, karena tahu bahwa itu pernyataan yang salah. Masalahnya adalah bukan pada Sakramen Tobat, namun pada manusia yang penuh dengan kelemahan. Masalah ya bukan pada ibunya yang telah membersihkan anak itu, namun pada anak itu, walaupun sudah diperingatkan untuk tidak bermain lumpur lagi. Selama manusia masih mempunyai kehendak bebas, maka manusia masih bisa memilih untuk berkata tidak terhadap dosa, atau mengikuti kelemahan untuk berbuat dosa.
Kalau begitu, sampai berapa kali si pendosa musti diampuni di dalam Sakramen Tobat ? Gereja Katolik menjalankan perintah yesus yang dikatakan-Nya pada waktu Yesus menjawab pertanyaan rasul Petrus yang bertanya, sampai berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang berdosa kepadanya. Dan Yesus menjawab " Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh tujuh kali" ( Mat 18:22). Dengan kata lain adalah tak terbatas. Memenuhi pesan Yesu inilah, Yesus memberikan pengampunan yang dipercayakan kepada Gereja dalam Sakramen Tobat yang dapat kita hampiri setiap saat.
Sumber : Buku Katekese Liturgi 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar